Minggu, 16 Maret 2008

NASIONALISME;ANATARA KUMBAKARNA DAN WIBISANA


Kamis, 23 Agustus 2007
Nasionalisme tidak lagi relevan untuk dibicarakan di era globalisasi, demikian anggapan umum saat ini. Bahkan ada pandangan ekstrem bahwa national state akan bubar menjadi etnic state, karena pemerintahan national state dianggap terlampau boros dan statis. Anggapan itu semakin kuat ketika dalam kehidupan berbangsa kita muncul fenomena krisis kemanusiaan selama lebih dari 32 tahun. Watak bangsa kita menjadi kasar, suka merusak, dan anarkis.

Selama 32 tahun lebih, bangsa kita yang sangat mencintai kebersamaan, merindukan persatuan dan kesatuan yang memiliki idealisme cita-cita nasional, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang individualistik dan materialistik. Perubahan ini menjadikan isu-isu nasionalisme menjadi tidak lagi penting dan terlupakan dalam kehidupan kita.



Sebelum mengikrarkan diri menjadi bangsa, bangsa kita yang sangat pluralis sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih dengan persatuan dan kesatuan. Kesadaran itu tumbuh dari hati nurani tanpa paksaan. Kesadaran itulah yang membentuk semangat kebangsaan atau nasionalisme. Semangat kebangsaan itu diwujudkan dalam dua dimensi, yaitu dimensi rasional dan dimensi emosional.

Dimensi rasional memunculkan watak bangsa Indonesia yang secara logis menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kesatuan. Sedangkan dimensi emosional memberikan watak bangsa Indonesia yang mencintai Tanah Air, negara-bangsa, dan mencintai kemerdekaan. Namun, sayang sekali, seiring dengan perjalanan zaman, dua dimensi tersebut menjadi luntur dalam kehidupan berbangsa kita.

Sistem politik kita tiba-tiba mengubah individu-individu menjadi haus kekuasaan, serakah, haus kekayaan, mementingkan diri sendiri, dan menghalalkan segala cara untuk meraih keinginan. Pelan-pelan dua dimensi nasionalisme yang mementingkan kebersamaan dan kepentingan kebangsaan digeser menjadi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Reformasi merupakan sebuah gerakan sosial yang berusaha menata kehidupan berbangsa kita untuk kembali kepada kepentingan bangsa meraih masa depan yang lebih baik. Reformasi -meminjam istilah Sindhunata-merupakan kepercayaan akan masa depan. Namun, apa yang terjadi dalam proses reformasi? Goenawan Mohammad di awal-awal era reformasi pernah mengingatkan bahwa pada suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati menjaga reformasi, reformasi akan berubah menjadi menakutkan.

Peringatan itu telah menjadi kenyataan saat ini. Reformasi tiba-tiba berubah menjadi kampanye besar-besaran, sosialisasi ekstrem yang mengampanyekan kelompok-kelompoknya sendiri, kepentingan kelompok, keinginan partai atau kehendak individu. Setiap pemimpin, di lembaga eksekutif maupun legislatif tampil membawa keinginan sendiri-sendiri, membawa "proyek" ideologinya sendiri-sendiri atas nama etnis, agama, atau pun identitas politik tertentu. Yang muncul adalah upaya untuk saling mendominasi. Upaya-upaya mendominasi ini melahirkan benih perpecahan bangsa.

Tampaklah nasionalisme kita yang retak dan terbelah-belah. Atribut-atribut nasionalisme seperti bendera kebangsaan, Pancasila dan UUD Dasar 1945 semakin jarang disebut. Atribut itu digantikan isu-isu dan paham-paham lain yang bertolak dari ras, etnis maupun agama. Muncul pula gerakan-gerakan yang mengatasnamakan etnis, ras, dan agama seperti paguyuban masyarakat tertentu, front pembela agama tertentu dan upaya-upaya menawarkan bentuk ideologi baru yang menggeser asas kebangsaan.

Semua gerakan itu justru merupakan titik balik nasionalisme kita. Di tahun 1928 rasa nasionalisme lebih kuat daripada etnis. Organisasi-organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, Syarikat Islam, misalnya, menanggalkan primordialisme menuju nasionalisme. Sekarang, nasionalisme bergeser ke arah primordialisme, bahkan etnonasionalisme.

Melihat kondisi nasionalisme kita yang retak dan karut-marut ini, saatnya kita melihat kembali karakteristik nasionalisme kita. Nasionalisme kita tidak dibangun atas chauvinistic atau uber ulles, seperti nasionalisme bangsa Jerman (Nazi Jerman). Nasionalisme kita berdiri pada penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan universal.

Khazanah kebudayaan kita memberikan contoh yang sempurna atas pencitraan nasionalisme kita. Dalam kisah pewayangan Ramayana, ada dua citra nasionalisme yang dimunculkan dalam figur Kumbakarna dan Wibisana. Kumbakarna dan Wibisana adalah profil nasionalis yang patriotik yang secara emosional sama-sama mencintai Tanah Airnya. Yang membedakannya adalah perasaan dan keberpihakannya pada kebenaran dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Kumbakarna secara membabi buta adalah patriot dan nasionalis yang membela negaranya, bagaimana pun wujud negaranya. Prinsipnya adalah wrong or right is my country. Citra patriot dan nasionalis yang lain muncul dalam diri Wibisana. Ia sangat mencintai negaranya, namun dia juga merasa memiliki kewajiban untuk "mengingatkan negaranya" apabila melakukan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Nasionalismenya berpedoman pada right is right, wrong is wrong.

Dari kisah ini bisa dinilai bahwa kedua-duanya adalah seorang pahlawan. Namun, dalam diri Wibisana terdapat nilai plus, selain pahlawan dan seorang nasionalis, dirinya juga seorang pecinta dan pejunjung kebenaran dan keadilan yang sangat menghormati nilai-nilai kemanusiaan di atas ruang hubungan keluarga, Tanah Air, dan bangsa.

Figur dan citra Wibisana inilah sebetulnya cermin nasionalisme Indonesia dalam budaya. Dengan mengingat cerita ini, semoga kita bisa membangkitkan kembali rasa nasionalisme Indonesia.***

Penulis adalah pemerhati budaya dan
sastrawan, tinggal di Ngawi

selanjutnya»»

EMPAT PEREMPUAN KITA


EMPAT CITRA PEREMPUAN KITA
DALAM TAFSIR SASTRA
(Potret Emansipasi dalam Sastra)
*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

Perempuan kita yang pertama, adalah perempuan dari dusun di pelosok Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Gunung Kidul, wilayah yang bertahun-tahun mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Lahir di desa miskin, dia---perempuan kita bernama : Pariyem itu ------- sungguh merasa sangat beruntung dapat ngenger sebagai pembantu rumah tangga seorang ndoro priyayi.
Keberuntungannya dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya ternyata menaruh minat padanya, pada dirinya, perempuan yang nyaris tak pernah mengenyam pendidikan. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau atau galau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Sekalipun dia tak pernah mempersoalkan bagaimana status anak dan perkawinannya dengan tuan mudanya itu.


Yang lebih menakjubkan, dia kembali ke rumah ndoronya, kali ini dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pada posisinya semula tanpa sedikit pun merasa terbebani atau merasa ternoda. Di benak Pariyem, hidup menjadi gundik tuan mudanya bukan aib, bahkan merupakan rahmat tak ternilai harganya. Mengandung bibit seorang priyayi, baginya akan mengangkat derajatnya dan derajat keluarganya, sekalipun dia tetaplah hanya seorang pembantu yang terus bergulat dengan kerja keras. Bagi seorang Pariyem, tentu saja istilah emansipasi, perjuangan gender, kesetaraan gender, dan kemitraan gender; hanyalah sekedar omong kosong yang tak pernah bisa dipahaminya.
Bagi Pariyem, dunia priyayi begitu mempesona, sehingga saat ia bersentuhan dengan dunia yang baginya sangat kegemerlapan, ia merasa mendapatkan karunia yang tiada taranya. Dia tak meminta diangkat menjadi bagian dari komunitas kepriyayian yang begitu anggun dan halus yang tak terjamah dunia kasar, dalam pengertian kerja keras dan hiruk pikuk dengan persoalan di luar kepriyayian. Pariyem sudah merasa sangat puas dengan sekedar numpang di sisi komunitas priyayi itu dan ia tak merasa perlu mengutuki nasibnya.
Namun kesumarahan Pariyem di atas tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Nyai Ontosoroh, begitu nama perempuan itu. Memiliki nasib yang nyaris serupa dengan Pariyem, sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik, bahkan harus dilakoninya pada saat usianya masih sangat belia.
Nasib yang mengantar hidupnya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda, tak menjadikannya pasrah dan sumarah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir

yang besar. Tak hanya itu, Nyai Ontosoroh, perempuan dusun yang yang tak pernah bersekolah ini, juga memberontak terhadap sejarahnya sendiri, dan tak pernah jera melawan realitas kolonial yang selalu mengungkungnya.
Nyai Ontosoroh begitu dendam pada nasib yang menyeretnya dalam dunia gundik yang tak berdaya. Dendam pada suratan nasibnya bertemu dengan alam politik melahirkan sikap perlawanan dan keinginan kebebasan yang meluap-luap. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok baru, dari sekedar sosok perempuan dusun menjelma menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segenap citra busuk seorang nyai.
Ontosoroh berhasil meretas struktur yang membelenggunya. Perempuan dusun ini bahkan berhasil melampaui dirinya, mengangkat citra keperempuanannya walaupun mungkin ia tak pernah mengenal istilah emansipasi, perlawanan gender, atau sejenisnya.
Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Marieneti Dianwidhi, namanya. Seringkali tidak memakai BH dalam berpakaian namun memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.
Walau sangat sadar akan kecantikan dan kemolekan yang diwujudkan secara demonstratif dalam berbusana; tidak pernah mengenakan BH! Marieneti masih sangat menjunjung tinggi moral keperawanan yang menjadi ciri khas moralitas perempuan Timur. Pemikirannya yang cerdas , berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.
Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Cok, nama perempuan ini, merupakan perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.
Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksualitas yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk ‘menguasai’ perempuan. Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan tidak didudukan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.
Berbeda dengan Marieneti yang menganggungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya; kalau Marieneti bertekad mempertahankan keperawanannya, Cok justru menjebol sendiri keperawanannya.
Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.
Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini. Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme bahkan ideologi yang saling tumpang tindih bahkan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya,”Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia? Bagaimanakah sosokmu, wahai para ibu?’” ******
*) Penulis adalah penyair, essais, dan pemerhati budaya yang tinggal di Ngawi

selanjutnya»»

Sabtu, 09 Februari 2008

'DIAM' SEBAGAI PUNCAK PERLAWANAN

*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya"


Perempuan itu bernama Nyai Ontosoroh ia telah melakukan perlawanan hampir sepanjang hidupnya. Perlawanan melawan nasib dantakdirnya. Dengan penuh kesadaran mencoba mnegubah nasibnya melawan berbagai kemungkinan. Saat nasib mengantarkannya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda ia hanya pasrah menerima takdirnya. Namun, dibalik sikap pasrahnya, berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungakan dengan politik etis tuannya, ia mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar. Perlawanan yang dilakukan adalah perlawanan yang 'diam-diam', tidak hiruk pikuk, namun dilakukannya sepanjang hidupnya. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok yang baru, dari sekedar perempuan dusun biasa menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segala citra busuk seorang Nyai.


Perlawanan yang dilakukannya bukanlah perlawanan yang frontal, namun sebuah perlawanan yang mengalir bersama sebuah penerimaan pada takdir. Pasrah tak sekedar diam dan menangisi nasib, namun dalam pasrah muncul sebuah perlawanan yang diam .
Diamnya Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa yang memunculkan perlawanan dibalik sikap pasrah, barangkali bisa dipahami saat kita melihat sosok Gendhari (Gendari) dalam cerita pewayangan. Ketika ia diperdaya oleh Bhisma untuk diperistri seorang Deatarata yang buta, seorang yang lemah, seorang yang ringkih dibawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu. Gandhari tak bisa menolak takdir itu. Dan tak bisa menggugat suratan tangannya. Gandhari dalam pasrahnya menanggung kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Ia memutuskan untuk selamanya menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati agar tak melihat apa-apa.
Namun, sejak itu, Gandhari bersama adiknya, Sengkuni, dengan cerdiknya disusunnya sebuah skenario baru, muslihat yang halus, yang kelak akan melahirkan episode-episode sedih bagi anak-anak Pandu serta membentangkan kematian Bhisma dalam sebuah pertempuran maha dahsyat.
Dalam diri manusia Jawa memang selalu muncul kontradiksi-kontradiksi, dalam diri manusia Jawa selalu muncul kontras dan tumpang tindih. Di balik diam ada perlawanan, di balik kelembutan muncul kekejian. Sebuah serat bernama Centhini menggambarkan ketumpangtindihan itu. Di dalam Centhini bisa dilihat betapa manusia Jawa itu penuh kontras, tumpang tindih antara raga dan roh, antara yang sensual dan spiritual, antara lembut dan tajam, antara yang alim dan alami, antara Jawa dan Islam.
Pada Centhini melalui pengembaraan Amongraga dari Giri, kita bisa melihat deskripsi ajaran sufistik, deskripsi cara ibadah, deskripsi makanan, hinga deskripsi seks yang gila. Kontras yang paling mencolok ada pada pupuh 362, bait-bait saat Amongraga bersama istrinya, Tembang Raras, berada di biliknya yang tertutup. Ada adegan para santri yang menyanyi dan menari seakan-akan memberikan latar musik pada adegan ranjang Amongraga dan Tembang Raras. Namun, di bilik itu tak ada yang erotik. Hari itu, sama seperti 39 malam lainnya kedua suami istri itu tak bersenggama sama sekali. Pria alim itu hanya nembang mewejang istrinya. Namun diluar ada Jayengraga, lelaki tampan yang merasakan desakan libido yang dahsyat. Dalam situasi ereksi luar biasa ia gagal meniduri isteri dan selirnya yang sedang datang bulan, dan akhirnya melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda penggiringnya. Ia orgasme dan subuh tiba, adegan homoseksual itu berpindah, Jayengraga mandi. Mengambil wudhu, dan shalat bersama santri lainnya.
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Centhini menampakkan penggambaran situasi kejiwaan yang kontras dan tumpang tidih pada manusia jawa. Persis kita jumpai pada Nyai Ontosoroh dan Gendhari yang memunculkan sebuah kontras yaitu : diam dan sebuah perlawanan. Sebuah pasrah dan sebuah dendam! **********
Penulis adalah essais dan penyair yang tinggal di Ngawi

selanjutnya»»

puisi tjahjono widarmanto

DI RAHIM IBU
*) buat bakal anakku

1
akar itu telah menemukan airnya
roh-roh menari setelah ditiup
menjadi sulur-sulur menjulur ke serat ari-ari
telah tumbuh warna-warna dari bau kesetiaan
mengalirkan putih ketuban

waktu mengupas wujud itu
laut akan meminjamkan garamnya
matahari menjulurkan mahkota
: ibu, aku tak sabar
ingin menuliskan huruf-hurufku!
2
ari-ari itu tak berhenti pda serat
namun menjadi sebutir telur
kelak akan menyingkap daging
diberi nama --- manusia

: bersama ketuban, biarkan aku muncrat
tumbuh menjadi para kesatria
akan kucatat legenda baru, dunia para penakluk
biarkan para rahib mencatatnya, dinasti baru, legenda baru.
akan kulibas kematian, kusamak menjadi kaus kaki kecilku

dari tempatku lunak dan hangat ini telah kurangkai api jadi bunga-bunga
bau harum mengalir dari tubuhku memanggil segenap kupu-kupu
sebab sejak dari rahim ibu telah kupintal sebuah sejarah
/ngawi/




KIDUNG BAYI

belajarlah dari tangis bayi
saat mulutnya mengulum sepi
dan nafasnya menghardik matahari
: berikan takdirmu!

mata bayi yang hijau
tempat segala roh ditiupkan warna
dari pelupuk bola mata itu engkau akan melihat
dunia yang hiruk pikuk ini hanyalah sepotong
wajah keriput yang diremas waktu.

---- warnamu tak bisa kau pilih sendiri, nak
walau telah ku usap ubun-ubunmu
juga telah kutiup seribu jampi dan mantra di lubang telingamu.
berjalanlah sendiri karena ada yang diam-diam memahatkan
rajah di kedua telapak tangan dan kakimu.
kuusap punggungmu
dan aku hanya sanggup membekalimu api
yang kupungut dari paruh-paruh ababil
juga separuh tubuh yang kupinjamkan
agar kau kelak perkasa melukai setiap rasa takut.
rajah di kedua telapak tangan-kakimu
takkan pernah bisa menaklukanmu
karena kau nafas api.
perjalanan betapa jauhnya
tak akan pernah sanggup menjadikan lelah
karena angin telah berumah di dadamu.
jangan bermimpi tentang surga, nak
kalau engkau tak merebutnya
dalam setiap ladang pertempuran
yang harus engkau taklukkan.
tanganmu pasti kelak perkasa,
meneteskan darah para lelaki
atau menampung tangis para perawan.

darah bapamu ini juga merah
namun tak segarang warnamu
tiupkan lamunan tinggi-tinggi
menembus waktu, membuka ruang
hingga matahari ngeri sendiri
menatap cahaya ubun-ubunmu.

garangnya warnamu
menyediakan cawan tempat engkau
menampung segenap pertanyaan dan jawaban
warna yang akan meludahi rajah di kedua telapak tangan-kakimu
mulailah menyanyi saban pagi atau saat senja dibangkitkan
mulailah melengking-lengking pada siapa saja
jangan pernah engkau pikirkan bahwa segalanya akan tua
carilah segala huruf sajak-sajak para pujangga, kata-kata para penguasa,
serta segenap sabda firman para nabi
: jadikan mantramu ! -----------

/ngawi, menjelang kelahiran/


SUATU SORE


mengenang kembali riwayat itu
sebuah biografi yang pecah:
sepotong laut
ombak riuh yang tak pernah mimpi
serta sayap-sayap camar yang lunglai
mereka teriakkan namamu

barangkali sebuah masa lalu yang kelak
akan menjadi akar sulur-sulur
merambati kalender dan telusuri ramalan-ramalan cuaca

percayalah, tak hanya kecewa dan sedih
yang sering menyapa
atau harapan yang tiba-tiba padam
namun, juga ruangan bercat merah muda serta irama musik pelan
dan kita sendiri yang memilih piala,
menuangkan merahnya anggur, serta berdansa
hingga parak pagi.

sore ini kita akan beranjak memulai perjalanan
menjawab teka-teki sepanjang abad
: mengapa cinta tak dapat diurai
dengan ciuman dan kata-kata?

sore ini pula marilah kita kenang sama-sama bahwa tiap sejarah
selalu penuh jejak sedih maupun gembira
juga tiap kegagapan akan melahirkan harapan-harapan.

barangkali perjalanan panjang ini nanti akan tersaruk-saruk
semua ini akan membuat kita kembali duduk bercakap
lantas menyanyi bersama, ---boleh lagu sendiri ---
bergoyang bersama,--tak peduli seperti inul ---
maka, semua kecemasan itu
akan jadi lagu paling menyenangkan
bisa ditulis menjadi berbait-bait puisi

segala pesona itu akan jadi riang
akan kita tulis kembali jadi kitab dongengan
legenda cinta yang pantas diceritakan
pada semua tetangga yang kesemuanya akan tertawa lucu
teringat kembali cinta remajanya.

segalanya akan bisa dikenang!
Ngawi-surakarta, 2007

SURAT KESEKIAN


apakah yang bisa ditandai saat dunia berlari-lari
begini cepat
sebelum semuanya sempat mencatatnya,
segalanya telah melompat
segalanya jadi nisbi.masa lalu dan hiruk pikuk zaman global,
ketabuan dan keterbukaan diaduk dalam piring seng,
omong kosong dan kesungguhan jadi kitab primbon

-----bagaimana wajah anak-anak kita kelak?

fira, sebagai penyair yang hidup menjagai waktu
aku wajib bertanya, bagaimana wajah anak-anak kita kelak
di tengah-tengah simpang-siur kebohongan,
di tengah-tengah orang sibuk berganti-ganti topeng.
bagaimana wajah anak-anak kita nanti
saat sihir ekonomi menenung siapa saja dengan begitu menakutkan
dan aku tak tahu pasti, masihkah kelak puisi-puisi
bisa tetap menjaga nurani.

fira, isteriku, apakah kau pernah bertanya
apa arti kitab-kitab itu, pengetahuan-pengetahuan itu
bagi anak-anak kita
aku cemas mereka akan seperti socrates yang sendiri di rumahnya
sedang orang-orang lebih silau melihat uang dan jabatan
apakah kitab-kitab itu bisamenjadikannya lebih terhormat
sedang di sisi lain dasi dan mobil lebih pantas dihitung
dibanding otak dan nurani!


fira, kegamanganku ini bukan berarti ketakutan
seorang penyair tak akan pernah takut menatap zaman
kegamanganku hanyalah kesadaran untuk membuat kita waspada
teguh dalam sikap.
indonesia miskin ini barangkali bukan taman yang baik
bagi anak-anak kita, socrates-socrates muda kita.
namun, janganlah takut berdiam dalam kemiskinan
karena dalam bilik itu kelak akan kita lahirkan
pemimpi-pemimpi baru,
dan besok yang jauh, fira, kita akan melihat
anak-anak kita, socrates-socrates muda itu,
akan turut memberi tanda pada Indonesia yang berlari!

kado ultah istri,,2007

selanjutnya»»

BERAKHIRNYA RIWAYAT SEBUAH KREDO

*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

........
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi
Bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
(Sutardji Calzoem Bachri)

/*/
Tak semua penyair memandang kata sebagai media menyampaikan makna. Sautardji Calzoum Bachri memperlakukan kata berbeda dengan penyair yang lain. Melalui kredo yang dicetuskan pada 30 Maret 1973 di Bandung, Sutardji memandang bahwa kata tak hanya berhenti sebagai penyampai makna, namun kata adalah pengertian itu sendiri. Oleh karena itu kata harus dibebaskan dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya. Harus dibebaskan dari tradisi lapuk yang membelenggunya yaitu kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene), serta penjajahan gramatika.


Dengan dibebaskannya kata, maka pintu kreativitas penyair akan terbuka lebar, akan menimbulkan dorongan kreatif yang tak terduga. Penyair mempunyai tugas menjaga kebebasan kata untuk mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi berarti mengembalikan kata pada asal mulanya. Dan kata pertama adalah mantera. Maka bagi Sutardji, menulis puisi adalah mengembalikan kata pada mantera.
Pada bagian akhir dari kredonya, Sutardji nyata-nyata ingin mengembalikan puisi ke tanah kelahirannya di tanah Riau. Sebagai penyair yang dilahirkan di tanah Melayu – Riau, Sutardji amat akrab dengan tradisi mantera yaitu salah bentuk sastra Melayu klasik. Mantera adalah salah satu bentuk puisi lama yang paling tua. Merupakan salah satu jenis tradisi lisan yang maksud penyampaiannya lebih penting dari maknanya. Kata dalam mantra adalah bunyi.
Mantera tidak mementingkan bait, larik, dan aspek tipografis yang lain, namun menonjolkan bunyi. Tidak mementingkan isi atau makna, namun menonjolkan irama. Irama dibentuk dari pengulangan-pengulangan kata atau bunyi yang ritmis, makin kuat iramanya makin besar tenaga gaib yang ditimbulkannya.

Dengan mengembalikan puisi pada mantera, berarti Sutardji menggali kembali tradisi, menggali kembali bentuk lama dan menampilkannya dengan roh yang baru,.Atau dengan kata lain, mencipta bentuk baru dengan cara menggali dan menafsir bentuk lama.
Merujuk pada mantera, maka puisi-puisi Sutardji mengoptimalkan pada anasir bunyi. Pada puisi O memperlihatkan betapa kuatnya anasir bunyi yang dibangun oleh Sutardji:/dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau/resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian/raguku ragukau raguguru ragutahu ragu kalian/mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai/siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siaurisau siakalian siasiasia/waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas/duhaiku duhaikau duhairindu duhangilau duhaikalian duhaisangsai/oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O...(hal 20)
Puisi di atas jelas-jelas merujuk pada mantera yang bersandar pada bunyi. Repetisi, aliterasi, asonansi, paralelisme bunyi dan rima, bahkan onaomatope yang ditimbulkan dari perulangan rima dari vokal u, kata duka, resah, sia, o menjadikan puisi di atas seperti serangkaian bunyi dan apabila dilisankan menimbulkan suasana tertentu.
Makna tidak penting dalam puisi O di atas, sehingga dengan enaknya penyairnya menggabungkan dua kata atau kelompok kata yang dalam penulisan yang lazim harus ditulis terpisah. Efek yang muncul pada pengabungan kata tersebut adalah munculnya perulangan bunyi yang kuat dan ritmis yang teratur. Efek lain dari penggabungan kata tersebut adalah munculnya anamatope yang aneh seperti dukangiau,siabalau, waswaswaswaswaswaswas,duhaingilu, duhaisangsai, obolong, orisau yang apabila dibaca (apalagi dibaca oleh penyairnya) bisa menimbulkan suasana mistis tertentu.
Dalam puisi-puisinya yang lain, dalam O, Amuk, dan Kapak mencerminkan dengan tegas ciri-ciri intrinsik puisi Sutardji berupa sistem penulisan kata, penggunaan kalimat, baris, atau bait yang inkonvensional, situasi kegagauan, kemacetan kata, paralelisme bunyi dalam frekuensi yang tinggi, rima yang rapat, kecenderungan pemakaian akar kata (kata dasar), dan penggunaan anamatope yang menimbulkan ritmis yang cepat. Ciri-ciri intrinsik tersebut merupakan bentuk estetis sebagai bentuk manifestasi kredo yang membiarkan kata bebas, mabuk, dan menelanjangi dirinya bahkan uintuk bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya. Puisi Orang Yang Tuhan menunjukkan betapa kata-kata berhamburan begitu saja tanpa harus mengusung makna bahkan tanpa harus berkaitan dengan kata lain yang sebelumnya atau yang menyusulnya. Dari judulnya saja, puisi di atas sulit dibayangkan maknanya /orang yang tuhan/, baris-baris lain yang menampilkan sederetan kata seperti /sungsang dalam sampainya/yang bilang wau! Gapaiku dedak!/ muncul begitu saja tanpa harus dibebani bagaimana pautan kata satu dengan yang lain.
Yang tak boleh diabaikan dalam puisi-puisi Sutardji, adalah penggunaan tipografi.Hampir disemua puisinya, bisa dijumpai bentuk-bentuk tipografi yang unik dan disusun dengan cermat. Dalam puisinya "Ah", "Tragedi Winka dan Sihka", "Q", "Dapatkau?", "Pot", "Daun", "Hyang", "Tak" yang sepenuhnya menyandarkan diri pada tipografi (tata letak kata). Tipografi-tipografi yang ditampakkan hampir sepenuhnya mengisyaratkan kegemparan, kegalauan, kerisauan, keliaran, dan kegelisahan. Boleh dikatakan melalui bentuk tipografilah suasana dan pesan disimbolkan. Peran kata untuk membangun pengertian digantikan perannya oleh bentuk bangun struktur puisi atau tipografi.
Puisi "Tragedi Winka dan Sihka" menampakkan tipografi zig-zag untuk menggambarkan perjalanan kehidupan manusia yang penuh lika-liku, bergelombang, dan kadang tidak terduga. Sedangkan tipografi yang muncul pada puisi "Q" tampak menunjukkan kesan kegelisahan dan pencarian Tuhan yang panjang yang menimbulkan gambaran mistis yang dipadu dengan pilihan kata yang meminjam kata-kata yang terdapat dalam sebuah ayat dalam surat Al Baqaroh yang termaktub pada kitab suci Al Quran, yaitu alif lamm mim.
Untuk memahami teks puisi di atas (dengan mengabaikan performance Sutardji dalam melisankannya), pembaca hanya bisa bertumpu pada dua hal, yang pertama, pada bentuk struktur (tipografi) yang dihadirkan oleh puisi tersebut, dan yang kedua pada kata alif lam mim. Dengan merujuk dua hal tersebut tampak puisi tersebut menggambarkan kegelisahan Sutardji dalam mencari Tuhannya.
Tipografi dalam puisi-puisi Sutardji, tampaknya digunakan untuk membangun dan mendukung suasana mistis seperti terdapat pada mantera, sehingga tak mengherankan kalau di dalamnya tercium aroma yang anarkis dan chaotic. Puisi "Hyang" semakin menujukkan suasana mistis yang dekat pada pengucapan mantera, menggambarkan keresahan batin penyairnya. Kata-kata yang digunakan pendek-pendek, nerocos begitu saja, sangat mirip dengan bunyi-bunyi yang hadir dalam mantera:

yang
mana
ke
atau
dari
mana
meski
pun
lalu se
bab
antara
Kau
Dan
aku

Hampir keseluruhan O, Amuk, Kapak kata-kata bermunculan, muncrat, meledak, dan berhamburan tanpa pretensi menimbulkan makna. Bahkan yang muncul tak lagi kata tapi serangkaian bunyi yang mistis dan aneh seperti izukalizu, papalik, arukabazuku, kodega, zuzukalibu, tutukaliba, lagotakoco, zegese, zukuzangga zukuzang (Amuk), ya pong ya ping, tak ya pong tak yaping (Shang Hai), tiktaktiktaktiktaktiktak,no no no no no no no no no no, zzzzzzzzzzz,(Mesin Kawin). Kasta-kata atau bunyi tersebut muncrat begitu saja, apabila kemudian membentuk sebuah pola gagasan, konsep, ide, atau segala sesuatu yang bermakna akan dihancurkan oleh bunyi atau kata lain yang muncul secara tak terduga menghancurkan sistem makna yang hampir terbentuk. Begitu berulang terus menerus sampai puisi itu selesai hanya menyisakan sebuah kegelisaha, ketresahan, atau kehadiran suasana yang mistis. Ibaratnya hanya sebuah gelombang bunyi atau kata-kata yang berpotensi melantunkan melodi dan imaji mistis yang tanpa henti. Sehingga hal yang mustahil mencari makna puisi Sutardji melalui pintu kata-kata karena kata-kata diberlakukan seperti rangkaian bunyi.
Mantera yang menjadi roh puisi-puisi Sutardji pada hakekatnya merupakan sebuah pemberontakan bahasa. Pemberontakan bahasa melalui spirit mantera tersebut menjadikan bahasa berdiri di luar sistem dan konvesional bahasa yang berlaku.
Pemberontakan bahasa yang dilakukan Sutardji semacam ini mengingatkan pada konsep dekonstruksi Derrida yang melakukan pembongkaran terhadap tendensi logosentris dan hirarkhis oposisional dalam semiotika struktural. Konsep ini membangkitkan kembali atatisme silam tentang Dunia – Sebagai – Teks, yang pada akhirnya bermuara pada pemakaian bahasa sebagai sebuah petualangan anarkhis melalui berbagai ungkapan dan permainan bahasa yang menampilkan bahasa sebagai agen subversif terhadap semua makna yang sebelumnya dianggap mapan dalam situasi kontrol sosial yang mapan. Pemberontakan yang sama pun pernah dilakukan oleh Julia Kristeva dengan memunculkan tampilnya bentuk-bentuk pelanggaran, subversi, dan kreativitas anti sosial dalam bahasa. Melalui konsep signifiance, Kristeva membuka ruang penjelajahan estetika baru yang menerabas batas-batas konvensi moral, tabu, dan kesepakatan sosial.
Karena memberontak maka ---seperti juga bisa dilihat pada teks-teks postmodern yang inkonvensional-----puisi-puisi Sutardji diwarnai tanda-tanda anarkis, obsesif, tiba-tiba, intim, tak terduga, menyihir indera, dan situasi menghilangnya makna.
/***/
. Dalam Pengantar Kapak yang ditulis di Jakarta 17 Mei 1979, tersirat pengakuan Sutardji bahwa puisi-puisinya didorong oleh tiga tema besar yaitu pencarian ketuhanan, penghayatan akan maut, dan kegelisahan terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam Kapak, karena menjadikan maut sebagai sebuah tema sentral, maka imaji-imaji tentang kubur dan kematian mendominasi dan mewarnai kumpulan tersebut: Dari hari ke hari/ Bunuh diri pelan pelan/Dari tahun ke tahun/ Bertimbun luka di badan/Maut menabungKu/ Segobang segobang/(Hemat). Dalam puisi "Kubur", seperti juga dalam puisi "Hemat", bahwa kematian berada di mana-mana. Seperti kapal yang akan membawa manusia entah ke pelabuhan mana. Mereka yang berlayar menuju pelabuhan abadi itu diantar deengan lambaian tangan sanak saudaranya. Kegelisahan akan eksistensi tuhan dan kegandrungan akan maut menjadi tradisi dan ciri sebuah karya sastra yang memiliki potensi sufistik. Puisi-puisi Sutardi sebenarnya menunjukkan sebuah karya sastra yang bermuatan sufistik. Setiap sastra sufistik pasti bermuatan spiritual yang di dalamnya terdapat pengagungan terdapat unsur yang tak terlihat, yang gaib, ruh, atau spirit semesta. Sastra sufistik selalu melihat dunia dari segi spiritualitas, di dalamnya terpancar kerinduan pada tuhan, kegelisahan rohani, merupakan sebuah ekspresi religiusitas, dan kegandrungan akan kematian.
Kecenderungan puisi-puisi Sutardji yang mengarah pada sastra sufistik sekaligus pada mantera bukan sesuatu yang mengherankan. Kedua-keduanya bermuara pada mistikisme, kedua-duanya bermain di wilayah mistik. Subjek Tuhan (Allah) pada puisi-puisi Sutardji tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena merupakan 'perjumpaan' yang mistis, oleh karena itu ia memilih pengungkapan mantera untuk memindahkan pengalaman mistis tersebut dalam ekspresi bahasa. Pengalaman mistis dalam pencarian ketuhanan tidak bisa secara tepat diceritakan atau diterjemahkan kepada orang lain yang tidak pernah mengalami pengalaman mistis tersebut.
Pengalaman mistis bersifat personal yang melampui kemampuan medium bahasa verbal . Penyair yang mengekspresikan pengalamannya yang mistis yang sangat personal tersebut terkendala oleh bahasa yang besifat generalisasi dan umum. Meminjam dikotomi yang dibuat oleh Bertrand Russell yang mengatakan bahwa pengalaman puitik penyair hidup di "dunia partikular" sedangkan bahasa cenderung bergerak di "dunia universal". Lalu bagaimana mengungkapkan "sesuatu' yang bermuatan mistis tersebut? /bagaimana penyair bisa sampai tuhan/kalau kata tak sampai?/ (Amuk) . Di sisi lain penyair merasa memiliki kewajiban harus mengungkapkan pengalaman mistisnya tersebut, sementara yang dia punya hanya tanya; /siapa dapat menterjemahkan perih?/siapa yang tahu arus? (Berdarah).
Untuk menyikapi problem batas bahasa dalam mengungkapkan mistis tersebut, jawaban Sutardji tepat sekali: pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi asaya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Upaya kembali pada mantera berarti menjelmakan bahasa jadi pengalaman itu sendiri. Puisi tak lagi sekedar medium verbal yang hanya menjalankan fungsi deskriptif dan reprensentatif sebuah realitas tertentu, namun menjadi sebuah aksi. Puisi menjadi semacam daya pukau atau sihir. Melalui mantera, puisi Sutardji leluasa menjebol batas bahasa untuk mengungkapkan pengalaman personalnya yang mistis. Puisi Sutardji karena merupakan mantera maka mengandalkan kekuatan sugesti seperti yang terdapat dalam sebuah dzikir atau wirid. Tuhan sebagai objek utama puisi-puisi Sutardji, seperti juga ungkapan sufistik pada umumnya, memiliki kedekatan dengan penyair, Tuhan dianggap sebagai kawan yang akrab atau justru sebagai pacar atau kekasih sehingga selalu tampak sebuah proses komunikasi intens antara "aku" dan "kau" seperti bisa dilihat pada sajak "Tapi" :aku bawakan bunga padamu/ tapi kau bilang masih/aku bawakan resahku padamu/tapi kau bilang hanya/aku bawakan darahku padamu/tapi kau bilang Cuma/aku bawakan mimpiku padamu/tapi kau bilang meski/aku bawakan dukaku padamu/tapi kau bilang tapi/aku bawakan mayatku padamu/ tapi kau bilang hampir/aku bawakan arwahku padamu/tapi kau bilang kalau/tanpa apa aku datang padamu/wah!
Membaca puisi panjang "Amuk", bisa dilihat adanya situasi trance, semacam ekstasi, atau isyq atau syutha'at setelah penyair menyeru Tuhannya (memanggilMu) pada situasi menjelang puncak pencarian bahkan pertemuan maka muncullah lenyapnya segala horizon kesadaran akan segala makna (izukalizu mapakazaba itasatali tutulita....zegezegeze zukuzangga zegezegeze aaah...!)
Sebelum sampai pada situasi isyq, pengakuan sufistik sejak awal jelas terbaca pada awal puisi panjang "Amuk" tersebut: ... /aku telah nemukan jejak/aku telah mencapai jalan/tapi belum sampai tuhan/berapa banyak abad lewat/berapa banyak arloji pergi/berapa banyak isyarat dapat/berapa banyak jejak menapak/agar sampai padaMU?

/****/
Sejak hadirnya "Kapak" bisa diamati terjadilah pergeseran estetika yang dilakukan oleh Sutardji. Puisi-puisi Sutardji tak lagi hadir sebagai mantera atau dzikir atau wirid yang sugestif dan mistis namun telah bergeser sekedar 'menceritakan" sesuatu. Pada puisi-puisi sebelumnya, kepedihan pencarian tuhan begitu mistis, namun pada kumpulan Kapak tak lagi sekental, sesakit, dan sedahsyat pada "O" atau "Amuk". Pencarian tuhan diterjemahkan lebih eksplisit sebagai kisah serombongan pemabuk yang susah payak memetik bulan di puncak gunung: /di lereng gunung/para peminum/mendaki gunung mabuk/kadang mereka terpeleset5/jatuh/dan mendaki lagi/memetik bulan/di puncak..../.
Ketika puisi-puisi baru sutardji bermunculan pasca "O, Amuk, Kapak", semakin jelaslah bergeseran estetika itu. Tardji tak lagi bermantera tapi ia bersaksi bahkan berpetuah. Dalam puisinya "Idul Fitri" bisa dibaca kesaksiannya: /O, Lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini/ngebut/di jalan lurus/jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir/tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia/kini biarkan aku menenggak arak cahayaMu/di ujung sisa usia/.
Tak hanya bersaksi, dalam puisi "Cermin" ia bahkan nyinyir berpetuah:/Engkau ingin berkarib-karib dengan Allah Azza wa jalla/Dan engkau berdzikir/tapi aku lihat/Zakar juga yang kau pikirkan/ Engkau pikul zakarmu ke mana-mana/Engkau jadi keledai/Zakarmu tuannya/.
Mantera tak lagi lantang diteriakkan oleh Sutardji, tapi ia lantang---seperti Rendra---menyuarakan dan memotret kondisi sosial: /Kalian bikin masjid/Kalian bikin gereja/Kalian senang kami selalu wirid/Kalian anjurkan kami banyak berdoa/Tapi kalian juga paling banyak melahap nikmat dunia/(Pemulung).
Kuatnya warna amanah, pesan, kesaksian, dan petuah pada puisi-puisi Sutardji pasca O, Amuk, Kapak seakan-akan mengisyaratkan tamatlah riwayat kredo puisi Sutardji. Bisa dikatakakan telah terjadi pergeseran estetika ----- dari mantera ke makna ---. Rupa-rupanya mantera tak lagi mampu mewadahi kreativitas Sutardji sehingga seiring bergegasnya waktu, Kredo yang menggemparkan itu menyerah kepada keterbatasannya sendiri. Namun, bukan berarti ia gong kematian bagi kreativitas penyairnya apalagi kematian puisi. Pergeseran estetika puitik dan konsep kepanyairan hanyalah persoalan yang wajar dalam dunia kepenyairan, jangankan konsep dan estetika puisi, menyair pun boleh berhenti. Kematian kredo puisi Sutardji hanyalah persoalan pergeseran kecenderungan konsep dan estetika puitik saja, bukan kematian puisi.********


*) Penulis adalah penyair dan pemerhati sastra.

selanjutnya»»

DUA SISI MATA UANG ITU : PAHLAWAN DAN TIRAN

*) Oleh : Tjahjono widarmanto


Beberapa waktu lalu seorang mantan pemimpin besar, tepatnya penguasa besar,dan mantan kepala negara telah mangkat. Menghikmati kemangkatan mantan pemimpin besar itu negara pun mengumumkan masa berkabung dan menghimbau rakyat untuk memasang bendera setengah tiang.
Pengibaran bendera apakah setengah tiang atau setiang penuh mengingatkan saya pada pahlawan. Bendera selalu dikibarkan untuk menghormati seorang pahlawan. Namun himbauan memasang bendera setengah tiang untuk menghikmati kemangkatan pemimpin besar itu memunculkan sebuah pertanyaan besar “Apakah setiap mantan pemimpin, atau tegasnya setiap kepala negara pasti seorang pahlawan?” Ataukah memasang bendera setengah tiang untuk menghikmati kemangkatan pemimpin besar atau seorang mantan kepala negara hanya sebuah aturan formal dari dunia birokrasi.


Setiap orang tentu saja bisa memiliki tafsir sendiri-sendiri. Tetangga saya yang dulu jurkam sebuah partai yang dekat dengan yang mangkat tadi bisa dan boleh saja menafsir bahwa pemimpin yang mangkat tersebut adalah seorang pahlawan dan layak diberi penghormatan dengan pengibaran bendera setengah tiang. Namun di sisi lain, beberapa tahun lalu teman-teman saya di Malang mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghikmati kematian Munir, seorang aktivis yang mereka anggap pahlawan, yang dulu merupakan “lawan” dari mantan pemimpin yang baru saja mangkat itu. Dalam konteks serupa itu lalu siapakah yang bisa dan lebih berhak disebut pahlawan. Munir ataukah mantan pemimpin yang baru saja mangkat tadi?
Kegelisahan saya semakin memuncak saat melihat tayangan televisi beberapa politikus mengusulkan gelar pahlawan bagi pemimpin yang baru saja mangkat itu. Tentu saja kegelisahan saya bukan berarti setuju dan tidak setuju atas gelar kepahlawanan yang diusulkan untuk disandang di almarhum mantan pemimpin besar itu. Saya hanya gelisah dan bertanya-tanya apakah gelar pahlawan itu semata menunggu “klaim” atau keputusan dari pemerintah? Jadi pemerintahlah yang paling berhak menentukan seseorang bergelar pahlawan atau tidak?
Mem”pahlawan’kan seseorang berarti menumbuhkan sebuah mitos tentang orang itu. Celakanya setiap mitos selalu mengkedepankan sisi-sisi terang pahlawan sekaligus selalu menenggelamkan sisi-sisi gelap kehidupannya. Dengan kata lain menghapuskan setiap dosa dari sejarah hidupnya.
Tiba-tiba, saya teringat kepahlawanan Gajah Mada dengan sumpahnya yang dahsyat yaitu ”sumpah Palapa”. Sumpah yang membawanya mempersatukan nusantara di bawah panji Majapahit. Mitos itu menguburkan realita bahwa ia adalah seorang penjajah, seorang imperalis dan penakluk yang menghalalkan segala cara. Bahkan cara yang paling licik seperti tercatat dalam Perang Bubat.
Saya tiba-tiba jadi takut, jika pemimpin besar yang baru saja mangkat itu mendapat gelar pahlawan, jangan-jangan akan terkubur pula cerita tiga juta orang yang dibantai karena dituduh komunis. Jangan-jangan terabaikan pula upaya membongkar sindikat kroni dan nepotismenya dan pelanggaranya tehadap HAM di Aceh, Lampung, Priok dan lainnya.
Ahh, barangkali yang diperlukan adalah kesadaran untuk mendudukan seorang pahlawan dalam porsi yang seimbang. Jasa-jasanya memang pilar-pilar sejarah namun di antara pilar-pilar itu harus ditampakkan pula puing-puing yang dirobohkannya. Harus dibangun kesadaran bahwa setiap pahlawan akan melahirkan korban. Pahlawan dan tiran memang dua sisi mata uang. Batas antara pahlawan dan tiran memang begitu tipios.****

*) Penulis adalah penyair, essais, dan guru yang tinggal di Ngawi

selanjutnya»»

Jumat, 11 Januari 2008

Sajak-sajak Tjahjono Widarmanto

Republika Minggu, 04 Nopember 2007

SAJAK MATI
sajak itu sekadar potongan
notasi sebuah simponi
mungkin, serpih lagu-lagu kenangan
yang dulu pernah kau dengar
sekadar notasi segera lenyap
bersama hilangnya mimpi-mimpimu
nada yang berubah diam
seperti abadinya sunyi
: membuatmu meringkuk
di sudut rumah kerangmu!
itulah masa lalu
tempat kita pernah bertukar janji
pada debu dan detak penanda waktu
Dan, janji itu ditagihnya kini.
Ngawi, 2007
MANTERA ITU TERDENGAR LAGI
: buat tardji
mantera itu terdengar lagi
saat bintang-bintang gemetar
berjatuhan di kejauhan
malam berpeluk muram yang kekal
kubayangkan, seorang penyair di kejauhan,
di batas sebuah musim
dengan rambut berkibar-kibar menggumamkan
manteranya ke lorong-lorong langit
hurufnya bertebaran, berjatuhan
di dasar danau dan telaga-telaga
siapa mendengarnya?
seorang penyair bersajak jauh sekali
dengan mantera menyulap lelahnya yang kelabu
menjelma ribuan kupu-kupu
beterbangan dengan sayapnya
kemilau menuju galaksi-galaksi.
penyair berambut telah putih
tubuhnya memanjang jadi sulur-sulurBR> melampui hari-hari yang selalu berjagaBR> pada kematian-kematianBR> yang mendompleng cuaca.
2007


TERKALAH WAKTU
ini: ruang yang mengurung kita
dalam sudutnya yang sumuk
membuat siapa saja harus terjaga untuk
menggelepar-gelepar
dari satu rajah tangan ke rajah yang lain
yang segera menjelma menjadi rumah keong
sarang segala riwayat, silsilah,
dan teka-teki mengubur ingatan
dengarkan detaknya!
segenap orang berlarian sambil
melambungkan bola-bola tennis
dari batas cakrawala
ke arah musim yang beterbangan.
yang berdetak itu bukan hantu
dengan gemerincing lonceng di kakinya,
bukan pula ruh
namun persis cahaya
berkelebat bersama angin
meniup-niup ujung rambut
yang sekejap menjadi beruban.
Hayoo, terkalah kelebat itu
yang punya gemerincing di kakinya.
punya rumah keong
dengan sudut yang sumuk
sebelum ia begegas lalu,
dan kita tertinggal di sini!
2007

selanjutnya»»